Selasa, 07 Juli 2015

PEMBELAJARAN PAIKEM



PEMBELAJARAN PAIKEM
Para ahli pendidikan berpendapat bahwa proses pembelajaran di sekolah sampai saat ini cenderung berpusat kepada guru. Tugas guru adalah menyampaikan materi-materi dan siswa diberi tanggung jawab untuk menghafal semua pengetahuan. Memang pembelajaran yang berorientasi target penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetisi mengingat dalam jangka pendek, tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan masalah dalam kehidupan jangka panjang.
Belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami apa yang mereka pelajari bukan mengetahuinya, oleh karena itu para pendidik telah berjuang dengan segala cara dengan mencoba untuk membuat apa yang dipelajari siswa disekolah agar dapat dipergunakan dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Salah satu prinsip paling penting dari psikologi pendidikan adalah guru tidak boleh semata-mata memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun pengetahuan di dalam benaknya sendiri. Guru dapat membantu proses ini dengan cara-cara mengajar yang membuat informasi menjadi sangat bermakna dan sangat relevan bagi siswa, dengan memberikan ide-ide, dan dengan mengajak siswa agar menyadari dan menggunakan sendiri ide-ide, dan mengajak siswa agar menyadari dan menggunakan strategi-strategi mereka sendiri dalam belajar. Guru dapat memberikan kepada siswa tangga yang dapat membantu mereka mencapai tingkat pemahaman yang lebih tinggi, tetapi harus di upayakan sendiri siswa yang memanjat tangga itu.
Tingkat pemahaman siswa menurut model Gagne (1985) dapat dikelompokan menjadi delapan tipe belajar, yaitu: (1) belajar isyarat, (2) stimulus-respon, (3) rangkaian gerak, (4) rangkaian verbal, (5) membedakan, (6) pembentukan konsep, (7) pembentukan aturan dan (8) pemecahan masalah (problem solving).
Di lihat dari urutan belajar, belajar pemecahan masalah adalah tipe belajar paling tinggi karena lebih kompleks, Dalam tipe belajar pemecahan masalah, siswa berusaha menyeleksi dan menggunakan aturan-aturan yang telah dipelajari terdahulu untuk membuat formulasi pemecahan masalah. Lebih jauh Gagne (1985) mengemukakan bahwa kata-kata seperti penemuan (discovery) dan kreatifitas (creativity) kadang-kadang diasosiasikan sebagaii pemecahan masalah.
Pendekatan pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning /CTL), Pembelajaran Pembelajaran Terpadu , Pembelajaran Inkuiri dengan menggunakan metode pembelajaran berbuat seperti: kerja kelompok, eksperimen, pengamatan, penelitian sederhana, pemecahan masalah, dan pembelajaran praktik dengan dikombinasikan dengan metode ekspositori seperti ceramah, tanya jawab dan demonstrasi adalah pendekatan pembelajaran yang karakteristiknya memenuhi harapan itu. Pendekatan atau model-model pembelajaran tersebut  menjadi tumpuan harapan para ahli pendidikan dan pengajaran dalam upaya menghidupkan kelas secara optimal. Kelas yang hidup diharapkan dapat mengimbangi perubahan yang terjadi di luar sekolah yang demikian cepat.
Setiap pendekatan memiliki ciri-ciri dasar atau karakteristik sendiri. Karakteristik ini berhubungan dengan apa yang menjadi fokus dan mendapat tekanan dalam pembelajaran. Ada pendekatan pembelajaran yang berfokus pada siswa yang meliputi perkembangan, kemampuan berpikir, aktivitas, pengalaman siswa. Pendekatan pembelajaran berfokus pada guru yang meliputi fungsi, peran, dan aktivitas guru. Pendekatan pembelajaran berfokus pada masalah meliputi masalah personal, sosial, lingkungan, atau pendekatan pembelajaran yang berfokus pada teknologi, sistem instruksional, sistem informasi, media, sumber belajar, dll.
Pendekatan dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran. Istilah pendekatan merujuk pada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih sangat umum. Oleh karenanya strategi dan metode pembelajaran yang digunakan dalam pembelajaran tergantung pada pendekatannya. Hal ini sesuai dengan Permendiknas Nomor 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah yang menyatakan bahwa dalam kegiatan inti pembelajaran merupakan proses untuk mencapai Kompetensi Dasar (KD) yang harus dilakukan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, krativitas, dan kemadirian sesuai denganbakat, minat, dan perkembangan fisik dan psikologis peserta didik. Kegiatan pembelajaran ini dilakukan secara sistematis dan sistemik melalui proses eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi.
B.     Konsep Dasar Pembelajaran
1.        Belajar dan Pembelajaran
Belajar dan pembelajaran merupakan konsep yang saling berkaitan. Belajar merupakan proses perubahan tingkah laku akibat interaksi dengan lingkungan. Proses perubahan tingkah laku merupakan upaya yang dilakukan secara sadar berdasarkan pengalaman ketika berinteraksi dengan lingkungan. Pola tingkah laku yang terjadi dapat dilihat atau diamati dalam bentuk perbuatan reaksi dan sikap secara mental dan fisik.
Tingkah laku yang berubah sebagai hasil proses pembelajaran mengandung pengertian luas, mencakup pengetahuan, pemahaman, sikap, dan sebagainya. Perubahan yang terjadi memiliki karakteristik: (1) perubahan terjadi secara sadar, (2) perubahan dalam belajar bersifat sinambung dan fungsional, (3) tidak bersifat sementara, (4) bersifat positif dan aktif, (5) memiliki arah dan tujuan, dan (6) mencakup seluruh aspek perubahan tingkah laku, yaitu pengetahuan, sikap, dan perbuatan.
Keberhasilan belajar peserta didik dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal, yaitu kondisi dalam proses belajar yang berasal dari dalam diri sendiri, sehingga terjadi perubahan tingkah laku. Ada beberapa hal yang termasuk faktor internal, yaitu: kecerdasan, bakat (aptitude), keterampilan (kecakapan), minat, motivasi, kondisi fisik, dan mental.
Faktor eksternal, adalah kondisi di luar individu peserta didik  yang mempengaruhi belajarnya. Adapun yang termasuk faktor eksternal adalah:  lingkungan sekolah, keluarga dan masyarakat (keadaan sosio-ekonomis, sosio kultural, dan keadaan masyarakat).

Pada hakikatnya belajar dilakukan oleh siapa saja, baik anak-anak maupun manusia dewasa. Pada kenyataannya ada kewajiban bagi manusia dewasa atau orang-orang yang memiliki kompetensi lebih dahulu agar menyediakan ruang, waktu, dan kondisi agar terjadi proses belajar pada anak-anak. Dalam hal ini proses belajar diharapkan terjadi secara optimal pada peserta didik melalui cara-cara yang dirancang dan difasilitasi oleh guru di sekolah. Dengan demikian diperlukan kegiatan pembelajaran yang disiapkan oleh guru.
Pembelajaran merupakan seperangkat tindakan yang dirancang untuk mendukung proses belajar peserta didik, dengan memperhitungkan kejadian-kejadian eksternal yang berperanan terhadap rangkaian kejadian-kejadian internal yang berlangsung di dalam peserta didik (Winkel, 1991).
Pengaturan peristiwa pembelajaran dilakukan secara seksama dengan maksud agar terjadi belajar dan membuat berhasil guna (Gagne, 1985). Oleh karena itu pembelajaran perlu dirancang, ditetapkan tujuannya sebelum dilaksanakan, dan dikendalikan pelaksanaannya (Miarso, 1993)
Proses pembelajaran yang berhasil guna memerlukan teknik, metode, dan pendekatan tertentu sesuai dengan karakteristik tujuan, peserta didik, materi, dan sumber daya. Sehingga diperlukan strategi yang tepat dan efektif.
Strategi pembelajaran merupakan suatu seni dan ilmu untuk membawa pembelajaran sedemikian rupa sehingga tujuan yang telah ditetapkan dapat dicapai secara efesien dan efektif (T. Raka Joni, 1992). Cara-cara yang dipilih dalam menyusun strategi pembelajaran meliputi sifat, lingkup dan urutan kegiatan yang dapat memberikan pengalaman belajar kepada peserta didik (Gerlach and Ely). Strategi belajar mengajar tidak hanya terbatas pada prosedur dan kegiatan, melainkan juga termasuk di dalamnya materi pengajaran atau paket pengajarannya (Dick and Carey).
Faktor yang memengaruhi proses pembelajaran terdiri dari faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah faktor-faktor yang berkaitan dengan pribadi guru sebagai pengelola kelas. Guru harus dapat melaksanakan proses pembelajaran, oleh sebab itu guru harus memiliki persiapan mental, kesesuaian antara tugas dan tanggung jawab, penguasaan bahan, kondisi fisik, dan motivasi kerja.
Faktor eksternal adalah kondisi yang timbul atau datang dari luar pribadi guru, antara lain keluarga dan lingkungan pergaulan di masyarakat. Faktor lingkungan, yang dimaksud adalah faktor lingkungan alam, lingkungan sosial, dan lingkungan sekolah.
Berdasarkan pendekatan yang digunakan, secara umum ada dua strategi pembelajaran yaitu strategi yang berpusat pada guru (teacher centre oriented) dan strategi yang berpusat pada peserta didik (student centre oriented). Pendekatan pembelajaran yang berpusat pada guru menggunakan strategi ekspositori, sedangkan pendekatan pembelajaran yang berpusat pada peserta didik menggunakan strategi diskoveri inkuiri (discovery inquiry).
Pemilihan strategi ekspositori atau diskoveri inkuiri dilakukan atas pertimbangan karakteristik kompetensi yang menjadi tujuan yang terdiri dari sikap, pengetahuan dan keterampilan, serta karakteristik peserta didik dan sumber daya yang dimiliki. Oleh karena itu tidak ada strategi yang tepat untuk semua kondisi dan karakteristik yang dihadapi. Guru diharapkan mampu memilah dan memilih dengan tepat strategi yang digunakan agar hasil pembelajaran efektif dan maksimal.
Pemilihan strategi ekspositori dilakukan atas pertimbangan:
a.    karakteristik peserta didik dengan kemandirian belum memadai;
b.    sumber referensi terbatas;
c.    jumlah pesera didik dalam kelas banyak;
d.   alokasi waktu terbatas; dan
e.    jumlah materi (tuntutan kompetensi dalam aspek pengetahuan) atau bahan banyak.
Langkah-langkah yang dilakukan pada strategi ekspositori adalah sebagai berikut.
a.    Preparasi, guru menyiapkan bahan/materi pembelajaran
b.    Apersepsi diperlukan untuk penyegaran
c.    Presentasi (penyajian) materi pembelajaran
d.   Resitasi, pengulangan pada bagian yang menjadi kata kunci kompetensi atau materi pembelajaran.
Pemilihan strategi diskoveri inkuiri dilakukan atas pertimbangan:
a.    karakteristik peserta didik dengan kemandirian cukup memadai;
b.    sumber referensi, alat, media, dan bahan cukup;
c.    jumlah peserta didik dalam kelas tidak terlalu banyak;
d.   materi pembelajaran tidak terlalu luas; dan
e.    alokasi waktu cukup tersedia.
Langkah-langkah yang dilakukan pada strategi diskoveri inkuiri adalah sebagai berikut.
a.    Guru atau peserta didik mengajukan dan merumuskan masalah
b.    Merumuskan logika berpikir untuk mengajukan hipotesis atau jawaban sementara
c.    Merumuskan langkah kerja untuk memperoleh data
d.   Menganalisis data dan melakukan verifikasi
e.    Melakukan generalisasi
Strategi ekspositori lebih mudah bagi guru namun kurang melibatkan aktivitas peserta didik. Kegiatan pembelajaran berupa instruksional langsung (direct instructional) yang dipimpin oleh guru. Metode yang digunakan adalah ceramah atau presentasi, diskusi kelas, dan tanya jawab. Namun demikian ceramah atau presentasi yang dilakukan secara interaktif dan menarik dapat meningkatkan keterlibatan peserta didik dalam pembelajaran.
Strategi diskoveri inkuiri memerlukan persiapan yang sungguh-sungguh, oleh karena itu dibutuhkan kreatifitas dan inovasi guru agar pengaturan kelas maupun waktu lebih efektif. Kegiatan pembelajaran berbentuk Problem Based Learning yang difasilitasi oleh guru. Strategi ini melibatkan aktivitas peseserta didik yang tinggi. Metode yang digunakan adalah observasi, diskusi kelompok, eksperimen, ekplorasi, simulasi, dan sebagainya.
2.        PAIKEM Sebagai  Model Pembelajaran Berbasis Kompetensi
PAIKEM adalah singkatan dari Pembelajaran Aktif, Inspiratif/Interaktif/Inovatif, Kritis /Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan. Dalam PAIKEM digunakan prinsip-prinsip pembelajaran berbasis kompetensi. Pembelajaran berbasis kompetensi adalah pembelajaran yang dilakukan dengan orientasi pencapaian kompetensi peserta didik. Sehingga muara akhir hasil pembelajaran adalah meningkatnya kompetensi peserta didik yang dapat diukur dalam pola sikap, pengetahuan, dan keterampilannya.
Prinsip pembelajaran berbasis kompetensi adalah sebagai berikut:
a.    Berpusat pada peserta didik agar mencapai kompetensi yang diharapkan. Peserta didik menjadi subjek pembelajaran sehingga keterlibatan aktivitasnya dalam pembelajaran tinggi. Tugas guru adalah mendesain kegiatan pembelajaran agar tersedia ruang dan waktu bagi peserta didik belajar secara aktif dalam mencapai kompetensinya.
b.    Pembelajaran terpadu agar kompetensi yang dirumuskan dalam KD dan SK tercapai secara utuh. Aspek kompetensi yang terdiri dari sikap, pengetahuan, dan keterampilan terintegrasi menjadi satu kesatuan.
c.    Pembelajaran dilakukan dengan sudut pandang adanya keunikan individual setiap peserta didik. Peserta didik memiliki karakteristik, potensi, dan kecepatan belajar yang beragam. Oleh karena itu dalam kelas dengan jumlah tertentu, guru perlu memberikan layanan individual agar dapat mengenal dan mengembangkan peserta didiknya.
d.   Pembelajaran dilakukan secara bertahap dan terus menerus menerapkan prinsip pembelajaran tuntas (mastery learning) sehingga mencapai ketuntasan yang ditetapkan. Peserta didik yang belum tuntas diberikan layanan remedial, sedangkan yang sudah tuntas diberikan layanan pengayaan atau melanjutkan pada kompetensi berikutnya.
e.    Pembelajaran dihadapkan pada situasi pemecahan masalah, sehingga peserta didik menjadi pembelajar yang kritis, kreatif, dan mampu memecahkan masalah yang dihadapi. Oleh karena itu guru perlu mendesain pembelajaran yang berkaitan dengan permasalahan kehidupan atau konteks kehidupan peserta didik dan lingkungan. Berpikir kritis adalah kecakapan nalar secara teratur, kecakapan sistematis dalam menilai, memecahkan masalah, menarik keputusan, memberi keyakinan, menganalisis asumsi dan pencarian ilmiah. Berpikir kreatif adalah suatu kegiatan mental untuk meningkatkan kemurnian (originality) dan ketajaman pemahaman (insigt) dalam mengembangkan sesuatu (generating). Kemampuan memecahkan masalah (problem solving) adalah kemampuan tahap tinggi siswa dalam mengatasi hambatan, kesulitan maupun ancaman. Metode problem solving (metode pemecahan masalah) bukan hanya sekedar metode mengajar tetapi juga merupakan suatu metode berpikir, sebab dalam problem solving dapat menggunakan metode-metode lainnya dimulai dengan mencari data sampai kepada menarik kesimpulan.
f.     Pembelajaran dilakukan dengan multi strategi dan multimedia sehingga memberikan pengalaman belajar beragam bagi peserta didik.
Pembelajaran berbasis PAIKEM membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir tahap tinggi, berpikir kritis dan berpikir kreatif (critical dan creative thinking). Berpikir kritis adalah suatu kecakapan nalar secara teratur, kecakapan sistematis dalam menilai, memecahkan masalah menarik keputusan, memberi keyakinan, menganalisis asumsi dan pencarian ilmiah. Berpikir kreatif adalah suatu kegiatan mental untuk meningkatkan kemurnian (orginality), ketajaman pemahaman (insigt) dalam mengembangkan sesuatu (generating). Kemampuan memecahkan masalah merupakan kemampuan berpikir tingkat tinggi.
Dalam pembelajaran pemecahan masalah, siswa secara individual atau kelompok diberi tugas untuk memecahkan suatu masalah. Jika memungkinkan masalah diidentifikasi dan dipilih oleh siswa sendiri, dan diidentifikasi hendaknya yang penting dan mendesak untuk diselesaikan serta  sering dilihat atau diamati oleh siswa sendiri, umpamanya masalah kemiskinan, kejahatan, kemacetan lalu lintas, pembusukan makanan, wabah penyakit, kegagalan panen, pemalsuan produk, atau soal-soal dalam setiap mata pelajaran yang membutuhkan analisis dan pemahaman tingkat tinggi, Dsb.
Sesuai dengan singkatan PAIKEM, maka pembelajaran yang berfokus pada siswa, makna, aktivitas, pengalaman dan kemandirian siswa, serta konteks kehidupan dan lingkungan ini memiliki 4 ciri yaitu: mengalami,  komunikasi, interaksi dan refleksi.
1.      Mengalami (pengalaman belajar) antara lain:
·         Melakukan pengamatan
·          Melakukan percobaan
·         Melakukan penyelidikan
·         Melakukan wawancara
·          Siswa belajar banyak melalui berbuat
·          Pengalaman langsung mengaktifkan banyak indera.
2.      Komunikasi, bentuknya antara lain:
·         Mengemukakan pendapat
·         Presentasi laporan
·         Memajangkan hasil kerja
·         Ungkap gagasan
3.      Interaksi, bentuknya antara lain:
·         Diskusi
·         Tanya jawab
·         Lempar lagi pertanyaan
o        Kesalahan makna berpeluang terkoreksi
o        Makna yang terbangun semakin mantap
o        Kualitas hasil belajar meningkat
4.      Kegiatan Refleksi yaitu memikirkan kembali apa yang diperbuat/dipikirkan.
·         mengapa demikian?
·         apakah hal itu berlaku untuk …?
·         Untuk perbaikan gagasan/makna
·         Untuk tidak mengulangi kesalahan
·         Peluang lahirkan gagasan baru
Dari karakteristik PAIKEM tersebut, maka guru perlu memberikan dorongan kepada siswa untuk menggunakan otoritas atau haknya dalam membangun gagasan. Tanggung jawab belajar, memang berada pada diri siswa, tetapi guru bertanggung jawab dalam memberikan situasi yang mendorong prakarsa, motivasi, perhatian, persepsi, retensi, dan transfer dalam belajar, sebagai bentuk tanggung jawab siswa untuk belajar sepanjang hayat.

Pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik PAIKEM antara lain adalah pembelajaran kotekstual (CTL), Pembelajaran Terpadu (Tematik, IPA Terpadu, IPS Terpadu), Pembelajaran berbasis TIK (ICT), Pembelajaran Pengayaan dengan menggunakan berbagai strategi antara  lain dengan Lesson Study.
Sebagai tahapan strategis pencapaian kompetensi, kegiatan PAIKEM perlu didesain dan dilaksanakan secara efektif dan efisien sehingga memperoleh hasil maksimal. Berdasarkan panduan penyusunan KTSP (KTSP), kegiatan pembelajaran terdiri dari kegiatan tatap muka, kegiatan tugas terstruktur, dan kegiatan mandiri tidak terstruktur. Sekolah standar, beban belajarnya dinyatakan dalam jam pelajaran ditetapkan bahwa satu jam pelajaran tingkat SMA/SMK terdiri dari 45 menit, SMP terdiri dari 40 menit, dan untuk SD terdiri dari 35 menit  tatap muka untuk Tugas Terstruktur dan Kegiatan Mandiri Tidak Terstruktur. Dalam hal ini guru perlu mendesain kegiatan pembelajaran tatap muka, tugas terstruktur dan kegiatan mandiri.
1.      Kegiatan Tatap Muka
Untuk kegiatan tatap muka dilakukan dengan strategi bervariasi baik ekspositori maupun diskoveri inkuiri. Metode yang digunakan seperti ceramah interaktif, presentasi, diskusi kelas, diskusi kelompok, pembelajaran kolaboratif dan kooperatif, demonstrasi, eksperimen, observasi di sekolah, ekplorasi dan kajian pustaka atau internet, tanya jawab, atau simulasi. Tapi jika sudah ada sekolah yang menerapkan sistem SKS, maka kegiatan tatap muka lebih disarankan dengan strategi ekspositori. Namun demikian tidak menutup kemungkinan menggunakan strategi diskoveri inkuiri. Metode yang digunakan seperti ceramah interaktif, presentasi, diskusi kelas, tanya jawab, atau demonstrasi.


2.      Kegiatan Tugas terstruktur
Bagi sekolah yang menerapkan sistem paket, kegiatan tugas terstruktur tidak dicantumkan dalam jadwal pelajaran namun dirancang oleh guru dalam silabus maupun RPP (Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran). Oleh karena itu pembelajaran dilakukan dengan strategi diskoveri inkuiri. Metode yang digunakan seperti penugasan, observasi lingkungan, atau proyek.
Kegiatan tugas terstruktur merupakan kegiatan pembelajaran yang mengembangkan kemandirian belajar peserta didik, peran guru sebagai fasilitator, tutor, teman belajar. Strategi yang disarankan adalah diskoveri inkuiri dan tidak disarankan dengan strategi ekspositori. Metode yang digunakan seperti diskusi kelompok, pembelajaran kolaboratif dan kooperatif, demonstrasi, eksperimen, observasi di sekolah, ekplorasi dan kajian pustaka atau internet, atau simulasi.
3.      Kegiatan Mandiri Tidak Terstruktur
Kegiatan mandiri tidak terstruktur adalah kegiatan pembelajaran yang dirancang oleh guru. Strategi pembelajaran yang digunakan adalah diskoveri inkuiri dengan metode seperti penugasan, observasi lingkungan, atau proyek.









DAFTAR PUSTAKA

Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Matematika Realistik (PMR)



Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Matematika Realistik (PMR)

  1. Pengertian Pendekatan Matematika Realistik (PMR)
            PMR awalnya dikembangkan di Negeri Belanda. Pendekatan ini didasarkan pada konsep Freudenthal yang berpendapat bahwa matematika merupakan aktivitas manusia. Dengan ide utamanya adalah bahwa siswa harus diberi kesempatan untuk menemukan kembali (reinvent) ide dan konsep matematika dengan bimbingan orang dewasa (Gravemeijer, 1994). Usaha untuk membangun kembali ide dan konsep matematika tersebut melalui penjelajahan berbagai situasi dan persoalan-persoalan realistik. Realistik dalam pengertian bahwa tidak hanya situasi yang ada di dunia nyata, tetapi juga dengan masalah yang dapat mereka bayangkan (Heuvel, 1998).
            Dan saat ini pembelajaran masih didominasi oleh guru, siswa kurang dilibatkan sehingga terkesan monoton dan timbul kejenuhan pada siswa. Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) adalah suatu teori dalam pendidikan matematika yang dikembangkan pertama kali di negeri Belanda pada tahun 1970 oleh Institut Freudenthal. Matematika realistik yang dimaksudkan dalam hal ini adalah matematika sekolah yang dilaksanakan dengan menempatkan realitas dan pengalaman siswa sebagai titik awal pembelajaran (Gravemeijer: 1994).

  1. Karakteristik Perkembangan Matematika Realistik
            Dalam PMR, pembelajaran diawali dengan masalah kontekstual (dunia nyata), sehingga memungkinkan mereka menggunakan pengalaman sebelumnya secara langsung dan siswa akan mengembangkan konsep yang lebih komplit. Kemudian, siswa dapat mengaplikasikan konsep-konsep matematika ke bidang baru dari dunia nyata.




a.      Menggunakan model-model (matematisasi)
     Menggunakan model artinya permasalahan atau ide dalam matematika dapat dinyatakan dalam bentuk model, baik model dari situasi nyata maupun model yang mengarah ketingkat abstrak ( De Lange : 1987).
     Istilah model berkaitan dengan model situasi dan model matematika yang dikembangkan oleh siswa sendiri (self developed models). Peran self developed models merupakan jembatan bagi siswa dari situasi abstrak atau dari matematika informal ke matematika formal.

b.      Menggunakan produksi dan konstruksi (kontribusi siswa )
     Menggunakan konstribusi siwa artinya pemecahkan masalah atau penemuan konsep didasarkan pada sumbangan gagasan siswa. (Streffland : 1991).
     Dalam hal ini, menekankan bahwa dengan pembuatan “produksi bebas” siswa terdorong untuk melakukan refleksi pada bagian yang mereka anggap penting dalam proses belajar. Strategi–strategi informal siswa yang berupa prosedur pemecahan masalah kontekstual merupakan sumber inspirasi dalam mengembangkan pembelajaran lebih lanjut yaitu untuk mengkonstruksi pengetahuan matematika formal.

c.        Menggunakan interaktif
     Menggunakan Interaktif artinya aktifitas proses pembelajaran dibangun oleh interaksi siswa dengan siswa, siswa dengan guru, siswa dengan lingkungan dan sebagainya (Waraskamdi : 2007).
     Interaksi antarsiswa dengan guru merupakan hal yang mendasar dalam Model Pembelajaran Matematika Realistik (PMR). Secara eksplisit bentuk-bentuk interaksi yang berupa negoisasi, penjelasan, pembenaran, setuju, tidak setuju, pernyataan atau  refleksi digunakan untuk mencapai bentuk formal dari bentuk-bentuk informal siswa.



d.      Menggunakan keterkaitan (intertwinment)
     Menggunakan Intertwin artinya topic-topik yang berbeda dapat diintegrasikan sehingga dpat memunculkan pemahaman tentang suatu konsep secara serentak (Waraskamdi : 2007). Dalam PMR pengintegrasian unit-unit matematika adalah esensial. Jika dalam pembelajaran kita mengabaikan keterkaitan dengan bidang lain, maka akan berpengaruh pada pemecahan masalah. Dalam mengaplikasikan matematika, biasanya diperlukan pengetahuan yang lebih kompleks  tidak hanya aritmatika, aljabar, atau geometri tetapi juga bidang lain.

  1. Langkah – Langkah  Pembelajaran
            Langkah-langkah di dalam proses pembelajaran matematika dengan pendekatan realistik dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.                   Memahami masalah kontekstual
          Guru memberikan masalah (soal) kontekstual dalam kehidupan sehari-hari dan meminta siswa untuk memahami masalah tersebut. Pada tahap ini“karakteristik pembelajaran matematika realistik yang tergolong dalam langkah ini adalah menggunakan masalah kontekstual yang diangkat sebagai starting point dalam pembelajaran untuk menuju ke matematika formal sampai ke pembentukan konsep.

2.                   Menjelaskan masalah kontekstual
          Jika situasi siswa macet dalam menyelesaikan masalah, maka guru menjelaskan situasi dan kondisi dari soal dengan cara memberikan petunjuk-petunjuk atau berupa saran seperlunya (bersifat terbatas) terhadap bagian-bagian tertentu yang belum dipahami oleh siswa, penjelasan hanya sampai siswa mengerti maksud soal.
          Langkah ini ditempuh saat siswa mengalami kesulitan memahami masalah kontekstual. Pada langkah ini guru memberikan bantuan dengan memberi petunjuk atau pertanyaan seperlunya yang dapat mengarahkan siswa untuk memahami masalah. (Gravemeinjer:1994). Yang tergolong dalam langkah ini adanya interaksi antara siswa dengan guru sebagai pembimbing.
3.                  Menyelesaikan masalah kontekstual
          Pada tahap ini siswa didorong menyelesaikan masalah kontekstual secara individu berdasar kemampuannya dengan memanfaatkan petunjuk-petunjuk yang telah disediakan (Gravemeinjer:1994). Siswa secara individual menyelesaikan masalah kontekstual dengan cara mereka sendiri. Cara pemecahan dan jawaban masalah berbeda lebih diutamakan. Dengan menggunakan lembaran kerja, siswa mengerjakan soal dalam tingkat kesulitan yang berbeda. Guru memotivasi siswa untuk menyelesaikan masalah dengan cara sendiri berupa pemberian petunjuk atau pertanyaan seperti, bagaimana kamu tahu itu , bagaimana mendapatkannya, mengapa kamu berpikir demikian, dan lain-lain berupa saran.
          Pada tahap ini, beberapa dari ‘prinsip’ pembelajaran matematika realistik akan muncul dalam langkah ini misalnya prinsip self developed models. Sedangkan pada karakteristik pembelajaran matematika realistik yang tergolong dalam langkah ini adalah kedua yaitu menggunakan model.

4.                  Membandingkan dan mendiskusikan jawaban
          Guru menyediakan waktu dan kesempatan kepada siswa untuk membandingkan dan mendiskusikan jawaban secara berkelompok, untuk selanjutnya dibandingkan (memeriksa, memperbaiki) dan didiskusikan di dalam kelas. Sementara di tahap ini sebagai ajang melatih siswa mengeluarkan ide dari kontribusi siswa di dalam berinteraksi antara siswa dengan siswa, siswa dengan guru, dan siswa dengan sarana prasarana untuk mengoptimalkan pembelajaran.
          Karakteristik pembelajaran matematika realistic yang muncul pada tahap ini adalah interaktif dan menggunakan kontribusi siswa. Interaksi dapat terjadi antara siswa dengan siswa juga antara guru dengan siswa (Gravemeinjer:1994).





D.    Konsepsi Siswa Dalam PMR
Pendekatan  matematika realistik mempunyai konsepsi tentang siswa sebagai berikut :
1.        Siswa memiliki seperangkat konsep alternatif  tentang ide-ide matematika yang mempengaruhi belajar selanjutnya.
2.        Siswa memperoleh pengetahuan baru dengan membentuk pengetahuan itu untuk dirinya sendiri.
3.        Pembentukan pengetahuan merupakan proses perubahan yang meliputi penambahan, kreasi, modifikasi, penghalusan, penyusunan kembali, dan penolakan
4.        Pengetahuan baru yang dibangun oleh siswa untuk dirinya berasal dari seperangkat ragam pengalaman.
5.        siswa tanpa memandang ras, budaya, dan jenis kelamin mampu memahami dan mengerjakan matematika.

E.     Peran Guru
PMR mempunyai konsepsi tentang guru sebagai berikut:
1.        Guru hanya sebagai fasilitator belajar
2.        Guru harus mampu membangun pengajaran yang interaktif
3.        Guru harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk secara aktif menyumbang pada proses  belajar dirinya, dan secara aktif membantu siswa dalam menafsirkan persoalan riil
4.        Guru tidak terpancang pada materi yang termaktub dalam kurikulum, melainkan aktif mengaitkan kurikulum dengan dunia-riil, baik fisik maupun sosial. (Masbied.2010)

F.      Konsepsi tentang Pengajaran
Pengajaran matematika dengan pendekatan PMR meliputi aspek-aspek berikut:
1.    Memulai pelajaran dengan mengajukan masalah (soal) yang “riil” bagi siswa sesuai dengan pengalaman dan tingkat pengetahuannya, sehingga siswa segera terlibat dalam pelajaran secara bermakna;

2.    Permasalahan yang diberikan tentu harus diarahkan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam pelajaran tersebut;
3.    Siswa mengembangkan atau menciptakan model-model simbolik secara informal terhadap persoalan/masalah yang diajukan;
4.    Pengajaran berlangsung secara interaktif: siswa menjelaskan dan memberikan alasan terhadap jawaban yang diberikannya, memahami jawaban temannya (siswa lain), setuju terhadap jawaban temannya, menyatakan ketidaksetujuan, mencari alternatif penyelesaian yang lain; dan melakukan refleksi terhadap setiap langkah yang ditempuh atau terhadap hasil pelajaran. (De Lange, 1995)

















Realistic Mathematic Education (RME)

A.    Pengertian RME
Realistic Mathematic Education (RME) merupakan salah satu pendekatan pembelajaran matematika yang berorientasi pada matematisasi pengalaman sehari-hari dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Realistic Mathematic Education (RME) merupakan teori pembelajaran matematika yang dikembangkan di negeri Belanda oleh Freudhenthal pada tahun 1973.
Menurut Freudhental matematika merupakan aktivitas manusia (mathematics as a human activity) dan harus dikaitkan dengan realita (de Lang, 1999; Gravemeijer, 1994), dimana menjelaskan bahwa yang dapat digolongkan sebagai aktivitas tersebut meliputi aktivitas pemecahan masalah, mencari masalah dan mengorganisasi pokok persoalan. Matematika realistik yang dimaksudkan dalam hal ini adalah matematika sekolah yang dilaksanakan dengan menempatkan realitas dan pengalaman siswa sebagai titik awal pembelajaran. Masalah-masalah realistik digunakan sebagai sumber munculnya konsep-konsep matematika atau pengetahuan matematika formal.
            Karakteristik RME menggunakan: konteks “dunia nyata”, model-model, produksi dan kontruksi siswa, interaktif dan keterkaitan. Pembelajaran matematika realistik diawali dengan masalah-masalah yang nyata, sehingga siswa dapat menggunakan pengalaman sebelumnya secara langsung. Dengan pembelajaran matematika realistik siswa dapat mengembangkan konsep yang lebih komplit. Kemudian siswa juga dapat mengaplikasikan konsep-konsep matematika ke bidang baru dan dunia nyata

  1. Komponen RME
Menurut Gravemeijer (1994:90-91) dalam pembelajaran matematika yang menggunakan pendekatan RME terdapat tiga prinsip utama yaitu:

1.    Reinvention dan Progressive Mathematization (“penemuan terbimbing’ dan proses matematisasi yang makin meningkat)
                        Menurut prinsip reinvention bahwa dalam pembelajaran matematika perlu diupayakan agar siswa mempunyai pengalaman dalam menemukan sendiri berbagai konsep, prinsip atau prosedur, dengan bimbingan guru. Seperti yang dikemukakan oleh Hans Freudenthal bahwa matematika merupakan aktivitas insani dan harus dikaitkan dengan realitas.
                        Dengan demikian, ketika siswa melakukan kegiatan belajar matematika maka dalam dirinya terjadi proses matematisasi. Terdapat dua macam proses matematisasi, yaitu matematisasi horizontal dan matematisasi vertikal. Matematisasi horizontal merupakan proses penalaran dari dunia nyata ke dalam simbol-simbol matematika. Sedangkan matematisasi vertikal merupakan proses penalaran yang terjadi di dalam sistem matematika itu sendiri, misalnya : penemuan cara penyelesaian soal, mengkaitkan antar konsep-konsep matematis atau menerapkan rumus-rumus matematika.

2.       Didactical phenomenology (Fenomena yang mengandung muatan didaktik).
           Yang dimaksud phenomenology didaktis adalah para siswa dalam mempelajari konsep-konsep, prinsip-prinsip atau materi lain yang terkait dengan matematika bertolak dari masalah-masalah kontekstual yang mempunyai berbagai kemungkinan solusi, atau setidaknya dari masalah-masalah yang dapat dibayangkan siswa sebagai masalah nyata.

3.        Self-developed models (Pengembangan model oleh siswa sendiri),
          Yang dimaksud mengembangkan model adalah dalam mempelajari konsep-konsep, prinsip-prinsip atau materi lain yang terkait dengan matematika, dengan melalui masalah-masalah konteksual, siswa perlu mengembangkan sendiri model-model atau cara-cara menyelesaikan masalah tersebut.
          Model-model atau cara-cara tersebut dimaksudkan sebagai wahana untuk mengembangkan proses berpikir siswa, dari proses berpikir yang paling dikenal siswa, ke arah proses berpikir yang lebih formal. Jadi dalam pembelajaran guru tidak memberikan informasi atau menjelaskan tentang cara penyelesaian masalah, tetapi siswa sendiri yang menemukan penyelesaian tersebut dengan cara mereka sendiri.
        Menurut Soedjadi (2001: 3) pembelajaran matematika realistik mempunyai beberapa karakteristik sebagai berikut.
1.         The use of context (menggunakan konteks),
        artinya dalam pembelajaran matematika realistik lingkungan keseharian atau pengetahuan yang telah dimiliki siswa dapat dijadikan sebagai bagian materi belajar yang kontekstual bagi siswa.
2.         Use models, bridging by vertical instrument (menggunakan model),
        artinya permasalahan atau ide dalam matematika dapat dinyatakan dalam bentuk model, baik model dari situasi nyata maupun model yang mengarah ke tingkat abstrak.
3.         Students constribution (menggunakan kontribusi siswa),
        artinya pemecahan masalah atau penemuan konsep didasarkan pada sumbangan gagasan siswa.
4.         Interactivity (interaktif),
        artinya aktivitas proses pembelajaran dibangun oleh interaksi siswa dengan siswa, siswa dengan guru, siswa dengan lingkungan dan sebagainya.Intertwining (terintegrasi dengan topik pembelajaran lainnya), artinya topik-topik yang berbeda dapat diintegrasikan sehingga dapat memunculkan pemahaman tentang suatu konsep secara serentak.

  1. Penerapan Model RME di Kelas
            Untuk memberikan gambaran tentang implementasi pembelajaran matematika realistik, misalnya diberikan contoh tentang pembelajaran pecahan di sekolah dasar (SD). Sebelum mengenalkan pecahan kepada siswa sebaiknya pembelajaran pecahan dapat diawali dengan pembagian menjadi bilangan yang sama misalnya pembagian kue, supaya siswa memahami pembagian dalam bentuk yang sederhana dan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
            Sehingga siswa benar-benar memahami pembagian setelah siswa memahami pembagian menjadi bagian yang sama, baru diperkenalkan istilah pecahan. Pembelajaran ini sangat berbeda dengan pembelajaran bukan matematika realistik dimana siswa sejak awal dicekoki dengan istilah pecahan dan beberapa jenis pecahan.
            Pembelajaran matematika realistik diawali dengan dunia nyata, agar dapat memudahkan siswa dalam belajar matematika, kemudian siswa dengan bantuan guru diberikan kesempatan untuk menemukan sendiri konsep-konsep matematika. Setelah itu, diaplikasikan dalam masalah sehari-hari.
            Langkah - langkah Pendekatan RME
1.      Memahami masalah kontekstual
Guru menyajikan masalah kontekstual kepada siswa
2.      Menjelaskan masalah kontekstual
Guru memberikan bantuan dengan memberi petunjuk yang dapat mengarahkan siswa untuk memahami masalah
3.      Menyelesaikan masalah kontekstual
Guru mendorong siswa untuk menyelesaikan masalah secara individu.
4.      Membandingkan dan mendiskusikan
Guru meminta siswa untuk membandingkan dan mendiskusikan hasil kerjanya
5.      Menyimpulkan
Dari hasil diskusi guru mengarahkan siswa untuk menarik kesimpulan

Kelebihan dan Kelemahan Pendekatan Realistic Mathematic Education

1)      Kelebihan Pendekatan Realistic Mathematic Education
                        Menurut Suwarsono (dalam Evi Luthvia, 2009) terdapat beberapa kelebihan dari pendekatan Realistic Mathematic Education (RME) antara lain sebagai berikut.
a.       RME memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa tentang keterkaitan antara matematika dengan kehidupan sehari-hari (kehidupan dunia nyata) dan tentang kegunaan matematika pada umumnya bagi manusia.

b.      RME memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa bahwa matematika adalah suatu bidang kajian yang dikonstruksi dan dikembangkan sendiri oleh siswa, tidak hanya oleh mereka yang disebut pakar dalam bidang tersebut.
c.       RME memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa bahwa cara penyelesaian suatu soal atau masalah tidak harus tunggal, dan tidak harus sama antara orang yang satu dengan orang yang lain. Setiap orang bisa menemukan atau menggunakan caranya sendiri, asalkan orang itu bersungguh-sungguh dalam mengerjakan soal atau masalah tersebut. Selanjutnya dengan membandingkan cara penyelesaian yang satu dengan cara penyelesaian yang lain, akan bisa diperoleh cara penyelesaian yang paling tepat, sesuai dengan tujuan dari penyesaian soal atau masalah tersebut.

d.      RME memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa bahwa dalam mempelajari matematika, proses pembelajaran merupakan sesuatu yang utama, dan untuk mempelajari matematika orang harus menjalani proses itu dan berusaha untuk menemukan sendiri konsep-konsep matematika dengan bantuan pihak lain yang sudah lebih tahu (misalnya guru). Tanpa kemauan untuk menjalani sendiri proses tersebut, pembelajaran yang bermakna tidak akan terjadi.

2)      Kelemahan pendekatan Realistic Mathematic Education (RME)
Beberapa kelemahan pendekatan Realistic Mathematic Education (RME) adalah sebagai berikut.

a.       Upaya mengimplementasikan RME membutuhkan perubahan pandangan yang sangat mendasar megenahi beberapa hal yang tidak mudah untuk dipraktekkan, misalnya mengenahi siswa, guru, dan peranan soal kontekstual. Di dalam RME, siswa tidak lagi dipandang sebagai pihak yang mempelajari segala sesuatu yang sudah jadi tetapi dipandang sebagai pihak yang aktif mengkonstruksi konsep-konsep matematika. Guru tidak lagi terutama sebagai pengajar, tetapi lebih sebagai pendamping bagi siswa. Di samping itu peranan soal konstektual tidak sekedar dipandang sebagai wadah untuk menerangkan aplikasi dari matematika, tetapi justru digunakan sebagai titik tolak untuk mengkonstruksi konsep-konsep matematika itu sendiri.
b.      Pencarian soal-soal konstektual yang memenuhi syarat-syarat yang dituntut RME tidak selalu mudah untuk setiap topik matematika yang perlu dipelajari siswa, terlebih-lebih karena soal-soal tersebut harus bisa diselesaikan dengan bermacam-macam cara.

c.       Upaya mendorong siswa agar bisa menemukan berbagai cara untuk menyesaikan soal juga merupakan hal yang tidak mudah dilakukan oleh guru.

d.      Proses pengembangan kemampuan berpikir siswa, melalui soal-soal konstektual, proses pematematikaan horisontal, dan proses pematematikaan vertikal juga bukan merupakan sesuatu yang sederhana, karena proses dan mekanisme berpikir siswa harus diikuti dengan cermat, agar guru bisa membantu siswa dalam melakukan penemuan kembali terhadap konsep-konsep matematika tertentu.













Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI)

A.    Pendekatan Pembelajaran Matematika dengan PMRI
Terkait dengan pendekatan pembelajaran matematika, pendekatan matematika realistik saat ini sedang dikembangkan di Indonesia, yang selanjutnya dikenal dengan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI). Pendekatan ini merupakan adaptasi dari pendekatan Realistic Mathematics Education (RME) yang dikembangkan di Belanda oleh Freudenthal.
PMRI merupakan pendekatan pembelajaran yang menekankan aktivitas insani, dalam pembelajarannya digunakan konteks yang sesuai dengan situasi di Indonesia. Dasar filosofi yang digunakan dalam PMRI adalah kontruktivisme yaitu dalam memahami suatu konsep matematika siswa membangun sendiri pemahaman dan pengertiannya. Karakteristik dari pendekatan ini adalah memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk mengkonstruksi atau membangun pemahaman dan pengertiannya tentang konsep yang baru dipelajarinya.
Menurut Zulkardi (2000) PMRI adalah pendekatan pembelajaran yang bertitik tolak dari hal-hal yang “real” bagi siswa, menekankan ketrampilan proses of doing mathematics”, berdiskusi berkolaborasi berargumentasi dengan teman sekelas sehinga dapat menemukan sendiri dan pada akhirnya menggunakan matematika itu untuk menyelesaikan masalah baik secara individu maupun kelompok.
Pendidikan Matematika Realistik Indonesia mulai diujicobakan di Indonesia pada tahun 2002. Pada awalnya terdapat empat Universitas yang terlibat dalam pengembangan PMRI, yaitu UPI Bandung, UNY Yogyakarta, USD Yogyakarta dan UNESA Surabaya. Masing-masing Universitas tersebut melakukan uji coba pada dua Sekolah Dasar (SD) dan satu MIN (Madrasah Ibtidaiyah Negeri). Uji coba tersebut dilaksanakan mulai kelas satu dan uji coba sudah sampai pada kelas 6. Untuk melengkapi proses pembelajaran telah disusun perangkat pembelajaran yang terdiri dari Buku Guru, Buku Siswa dan Lembar Aktifitas Siswa (LAS) yang disusun oleh TIM PMRI dari ke empat Universitas tersebut.
Pendekatan PMRI, guru berperan tidak lebih dari seorang fasilitator atau pembimbing, moderator dan evaluator. Sutarto Hadi (2005) menyebutkan bahwa diantara peran guru dalam PMRI adalah sebagai berikut :
1.      Guru hanya sebagai fasilitator belajar;
2.      Guru harus mampu membangun pengajaran yang interaktif;
3.      Guru harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk secara aktif menyumbang pada proses belajar dirinya, dan secara aktif membantu siswa dalam menafsirkan persoalan riil; dan
4.      Guru tidak terpancang pada materi yang termaktub dalam kurikulum, melainkan aktif mengaitkan kurikulum dengan dunia riil, baik fisik maupun sosial.
 Dengan penerapan PMRI di Indonesia diharapkan prestasi akademik siswa meningkat, baik dalam mata pelajaran matematika maupun mata pelajaran lainnya. Sejalan dengan paradigma baru pendidikan sebagaimana yang dikemukakan Zamroni (dalam Sutarto Hadi, 2005), pada aspek prilaku diharapkan siswa mempunyai ciri-ciri :
1.      Di kelas mereka aktif dalam diskusi, mengajukan pertanyaan dan gagasan, serta aktif dalam mencari bahan-bahan pelajaran yang mendukung apa yang tengah dipelajari;
2.       Mampu bekerja sama dengan membuat kelompok-kelompok belajar;
3.       Bersifat demokratis, yakni berani menyampaikan gagasan, mempertahankan gagasan dan sekaligus berani pula menererima gagasan orang lain;
4.      Memiliki kepercayaan diri yang tinggi. 

B.     Prinsip PMRI
Prinsip-prinsip PMRI adalah sebagai berikut :
1.      Guided reinvention and didactical phenomenology
           Karena matematika dalam belajar RME adalah sebagai aktivitas manusia maka guided reinvention dapat diartikan bahwa siswa hendaknya dalam belajar matematika harus diberikan kesempatan untuk mengalami sendiri proses yang sama saat matematika ditemukan. Prinsip ini dapat diinspirasikan dengan menggunakan prosedur secara informal. Upaya ini akan tercapai jika pengajaran yang dilakukan menggunakan situasi yang berupa fenomena-fenomena yang mengandung konsep matematika dan nyata terhadap kehidupan siswa.

2.      Progressive mathematization
           Situasi yang beriisikan fenomena yang dijadikan bahan dan area aplikasi dalam pengajaran matematika haruslah berangkat dari keadaan yang nyata terhadap siswa sebelum mencapai tingkat matematika secara formal. Dalam hal ini dua macam matematisasi haruslah dijadikan dasar untuk berangkat dari tingkat belajar matematika secara real ke tingkat belajar matematika secara formal.

3.      Self-developed models
           Peran self-developed models merupakan jembatan bagi siswa dari situasi real ke situasi konkrit atau dari informal matematika ke formal matematika. Artinya siswa membuat model sendiri dalam menyelesaikan masalah. Pertama adalah model suatu situasi yang dekat dengan alam siswa. Dengan generalisasi dan formalisasi model tersebut akan menjadi berubah menjadi model-of masalah tersebut. Model-of akan bergeser menjadi model-for masalah yang sejenis. Pada akhirnya akan menjadi model dalam formal matematika.

C.      Karakteristik PMRI
PMRI mempunyai lima karakteristik yaitu :
1.      Menggunakan masalah kontekstual
Masalah kontekstual sebagai aplikasi dan sebagai titik tolak dari mana matematika yang diinginkan dapat muncul.
2.      Menggunakan model atau jembatan dengan instrumen vertikal
Perhatian diarahkan pada pengembangan model, skema dan simbolisasi dari pada hanya mentransfer rumus atau matematika formal secara langsung.



3.      Menggunakan kontribusi siswa
Kontribusi yang besar pada proses belajar mengajar diharapkan dari konstruksi siswa sendiri yang mengarahkan mereka dari metode unformal mereka ke arah yang lebih formal atau standar.

4.      Interaktivitas
Negosiasi secara eksplisit, intervensi, kooperasi dan evaluasi sesama siswa dan guru adalah faktor penting dalam proses belajar secara konstruktif dimana strategi informal siswa digunakan sebagai jantung untuk mencapai yang formal.

5.      Terintegrasi dengan topik pembelajaran lainnya
Pendekatan holistik, menunjukkan bahwa unit-unit belajar tidak akan dapat dicapai secara terpisah tetapi keterkaitan dan keterintegrasian harus dieksploitasi dalam pemecahan masalah

D.    Model pembelajaran PMRI
            Untuk mendesain suatu model pembelajaran berdasarkan teori PMRI, model tersebut harus mempresentasikan karakteristik PMRI baik pada tujuan, materi, metode, dan evaluasi (Zulkardi, 2002; 2004).
1.      Tujuan
        Dalam mendesain, tujuan haruslah melingkupi tiga level tujuan dalam RME : lover level, middle level, and high level. Jika pada level awal lebih difokuskan pada ranah kognitif maka dua tujuan terakhir menekankan pada ranah afektif dan psikomotorik seperti kemampuan berargumentasi, berkomunikasi, justifikasi, dan pembentukan sikap kristis siswa.
2.      Materi
        Desain guru open material atau materi terbuka yang didiskusikan dalam realitas, berangkat dari konteks yang berarti; yang membutuhkan; keterkaitan garis pelajaran terhadap unit atau topik lain yang real secara original seperti pecahan dan persentase; dan alat dalam bentuk model atau gambar, diagram dan situasi atau simbol yang dihasilkan pada saat proses pembelajaran. Setiap konteks biasanya terdiri dari rangkaian soal-soal yang menggiring siswa ke penemuan konsep matematika suatu topik.
3.      Aktivitas
        Atur aktivitas siswa sehingga mereka dapat berinteraksi sesamanya, diskusi, negosiasi, dan kolaborasi. Pada situasi ini mereka mempunyai kesempatan untuk bekerja, berfikir dan berkomunikasi tentang matematika. Peranan guru hanya sebatas fasilitator atau pembimbing, moderator dan evaluator.
4.      Evaluasi
        Materi evaluasi biasanya dibuat dalam bentuk open-ended question yang memancing siswa untuk menjawab secara bebas dan menggunakan beragam strategi atau beragam jawaban atau free productions. Evaluasi harus mencakup formatif atau saat pembelajaran berlangsung dan sumatif, akhir unit atau topik.

E.     Standar Guru PMRI
Ada lima standar guru PMRI yaitu:
1.         Guru memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai tentang PMRI dan dapat menerapkannya dalam pembelajaran matematika untuk menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.
2.         Guru mendampingi siswa dalam berpikir, berdiskusi, dan bernegosiasi untuk mendorong inisiatif dan kreativitas siswa.
3.         Guru mendampingu dan mendorong siswa agar berani mengungkapkan gagasan dan menemukan strategi pemecahan masalah menurut mereka sendiri.
4.         Guru mengelola kerjasama dan diskusi siswa dalam kelompok atau kelas sehingga siswa dapat saling belajar.
5.         Guru bersama siswa menyimpulkan konsep matematika melalui proses refleksi dan konfirmasi.




F.     Standar Pembelajaran PMRI
Standar pembelajaran PMRI ada lima, yaitu:
1.         Pembelajaran materi baru diawali dengan masalah realistik sehingga siswa dapat mulai berpikir dan bekerja.
2.          Pembelajaran memberi kesempatan kepada siswa untuk mengeksplorasi masalah yang diberikan guru dan bertukar pendapat sehingga siswa dapat saling belajar dan meningkatkan pemahaman konsep.
3.          Pembelajaran mengaitkan berbagai konsep matematika untuk membuat pembelajaran lebih efisien.
4.          Pembelajaran mengaitkan berbagai konsep matematika untuk memberi kesempatan bagi siswa belajar matematika secara utuh, yaitu menyadari bahwa konsep-konsep dalam matematika saling berkaitan.
5.         Pembelajaran materi diakhiri dengan proses konfirmasi untuk menyimpulkan konsep matematika yang telah dipelajari dan dilanjutkan dengan latihan untuk memperkuat pemahaman.

G.    Standar Bahan Ajar PMRI
Standar bahan ajar PMRI diantaranya adalah:
2.      Bahan ajar menggunakan permasalahan realistik untuk memotivasi siswa dan membantu siswa dalam memahami konsep matematika.
3.      Bahan ajar mengaitkan berbagai konsep matematika untuk memberi kesempatan bagi siswa belajar matematika secara utuh, yaitu menyadari bahwa konsep-konsep dalam matematika saling berkaitan.
4.       Bahan ajar memuat materi pengayaan dan remidi untuk mengakomodasi perbedaan cara berpikir siswa.
5.      Bahan ajar memuat petunjuk tentang kegiatan yang memotivasi siswa menjadi lebih kreatif dan inovatif dalam mengembangkan strategi.
6.      Bahan ajar memuat petunjuk tentang aktivitas yang mengembangkan interaksi dan kerjasama antar siswa



DAFTAR PUSTAKA

Streefland, Leen. 1990. Realistic Mathematics Education (RME).
Gravemeijer, K. dkk. Utrecht: OW & OC. Sugiman. 2003. Final Report of JICA Training Program.
Zulkardi. 2003 Buletin PMRI (Pendidikan Matematika Realistik Indonesia) edisi I, Juni 2003.
Ahmad Fauzan. (2003). Rute Belajar dalam RME: Suatu Arah untuk Pembelajaran Matematika. Makalah, disampaikan pada Seminar Nasional Pendidikan Matematika di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta 27-28 Maret 2003
De Lange, J. (1987). Mathematics, Insight, and Meaning, Utrecht : OW & Co. Gravemeijer, K.(1994). Developing Realistic Mathematics Education, :

onwikkelen van relistich reken/wiskundeonderwijs (met een samenvatting in het nederlands). Nederland : Universiteit Utrechte.

Julie, Hongki. (2003). Kurikulum Berbasis Kompetensi dan Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Realistik (makalah)

Marpaung, Y. (2003). Perubahan Paradigma Pembelajaran Matematika di Sekolah (makalah)